Mataku tertuju pada sebuah buku di tumpukan buku2 lama di kamarku. Aku mengenalinya, sangat mengenalinya sebagai buku yang sarat kenangan. Kubuka satu per satu halamannya.. lalu seolah pikirku menjelajah waktu, kembali ke masa kisah-kisah dalam buku itu dituliskan. aku berhenti di suatu halaman..
Jatuhkan air mata beningmu
Saat sayap tangguhmu tak lagi bisa
Menopang perih luka hati
Teriaklah sekuat tenagamu
Agar terlempar semua sesal kalbumu
Dan samar raut wajahmu
Aku tersadar telah bersandar
Pada tiang yang mudah patah
Pada pasak yang mudah menyerah
Kita berdua tak bersalah
Deraikanlah gelak tawa di sudut bibirmu
Di tengah peluk cium sosok sahabat
Saat itulah kau temukan
Apakah arti kebersamaan
Lalu kau akan mengerti seperti itulah
Cinta sejati…
-The sylph
Kubaca lagi puisi itu, bergetar dadaku. Ah, aku teringat
betapa seseorang pernah menjadi rapuh olehku. Meskipun aku tahu, ia sangatlah
kuat, ya..ia begitu tegar dengan senyumnya.
Pagi itu Pak Handoko seperti biasa dengan lelucon2nya yang
ga lucu mengajar bahasa Indonesia di kelas kami. Bapak yang satu ini memang
gemar melempar guyonan, yang lucunya..selalu ga lucu!
Apa itu sebutannya?
Jayus! Ya.. jayus Tambunan. Ehh.. (ga lucu). Tapi kami sekelas selalu tertawa,
justru karena ga lucunya itu. Bahkan aku sering bilang ke sobatku yang sebangku
denganku, “yuk kita tertawa, kasihan, Pak Handoko pasti udah susah2 menyiapkan
leluconnya dari rumah tadi malam. Mari kita hargai beliau dengan tertawa.”
Hahaha.
Pagi itu beliau mengajarkan tentang “berita” yang sepenuhnya
ga kuperhatikan karena aku sibuk menulis puisi. Yap, puisi… pokoknya hari ini
harus kusampaikan puisi ini!
Entahlah, aku seperti menjadi pujangga hari itu, kata2 yang
biasanya cuma kupakai buat gokil2an bareng teman2 kini seolah punya nyawa yang
lain. Tiba2 saja kata2 yang keluar dari pikiranku selalu menjurus puitis, aku
sendiri heran.
Kulirik seorang gadis manis di kelasku, ah..sudah kuduga, ia
pasti serius mengikuti pelajaran. Aku pun serius.. serius bakal ngungkapin
perasaan kepadanya hari ini! Hahaha.
Puisi inilah perantaranya.
Kulipat kertas yang berisi puisi yang (akhirnya) sudah jadi
itu. Ehh.. tunggu dulu, aku belum menandainya kalo itu dariku. Hahaha. Kutulis
nama yang pasti ia kenali. Dan ternyata aku belum memberinya judul juga! Hmm…
apa ya? Judul2 norak awalnya banyak yang terpikirkan olehku. Tapi akhirnya
senyum kemenangan tersungging di bibirku. Ya! Puisi ini akan berjudul BERITA!
Aku awalnya mau nekat saja memberikan puisi itu langsung,
tapi kupikir2 itu ide yang jauh lebih buruk dari yang terburuk. Aku sadar,
betapa kelas kami adalah kelas yang paling ganas soal cinta2an. Begitu ada yang
ketahuan menjalin cinta.. bahh.. bakal ga tenang sisa hidupnya gara2 jadi
bulan-bulanan digoda. Hanya Tuhan dan guru killer Kimia kami yang bisa
menghentikan mereka.
Akhirnya, jam istirahat datang. Kulongok keluar jendela,
yap..dia sudah menuju kantin di luar pagar sekolah sepertinya. Akupun
bergerilya, kuraih lipatan kertas ‘berita’ku tadi di kantong, dan kumasukkan
tasnya. Sejurus kemudian aku bersikap seolah itu adalah peristiwa biasa saja,
aku berbaur dengan teman2 lain.
Pelajaran berikutnya berlangsung, aku niatkan untuk tidak
melirik2 ke bangkunya. Yang terjadi biarlah terjadi.. the show must go on.
Halah.. dan jam istirahat kedua pun tiba, aku yang ga mungkin ga salting kalau
tetap di kelas bersamanya akhirnya mengajak sobatku ke kantin. Aku masih tidak ingin
memandangnya..
Saat melewati gerbang sekolah, ada yang memanggil namaku..
“… kamu bikin puisi ya?” yak, dialah yang memanggilku. “Nanti aku muat di
majalah sekolah”. Lanjutnya. Dia memang salah satu redaksi majalah sekolah.
Aku mendongak, ya.. kelasku di lantai 2. “ga usah, itu
untukmu…!” jawabku.
Sedetik kemudian aku melihat senyum tersungging di bibirnya.
Detik berikutnya giliran senyum tersungging di sudut hatiku.
***
Aku lupa kenapa muncul persimpangan jalan itu, yang membuat
kami memilih jalur yang berbeda, meneruskan perjalanan masing2. Tapi seperti
yang ia katakan, tak ada yang bersalah di antara kami, tidak pula keadaan –
layaknya semua orang yang sering menyalahkan keadaan. Mungkin memang perjalanan
kami yang mengharuskan seperti itu, jika kami tetap bersama maka kami tak akan
sampai ke tempat tujuan kami. Ya, mungkin seperti itulah sederhananya.
Walau begitu, aku sadar, aku adalah sayap yang tak mampu
membuatnya terbang. Aku adalah tiang yang tak mampu menyangganya. Namun yang
mungkin tak ia sadari, saat itu aku sangat ingin menjadi tiang yang kokoh,
sayap yang kuat baginya, justru ia yang mematahkan harapanku itu. Yah, janji
kepada orangtua memang jauh lebih penting, kusadari sepenuhnya.
Lalu ia memberiku puisi itu..
6 comments:
hahahahaa.... biarkan saja teronggok di blog ini, kecuali memang kau adalah penikmat kebebasan. boleh lah dishare di fb. hahahhaa
penikmat kebebasan? yang seperti apa? thanks udah bikin bingung :/
Ya ampun, so swit. :')
Anda mengenal saya dengan baik. hahaha :'>
wah..wow banget ya
Biasa banget kok ya
Post a Comment