Sunday 27 January 2013

Candu di sebuah kantor pos



Pagi ini aku harus bisa melihatnya, begitu tekadku. Ya, akhir-akhir ini semangatku muncul dari balik meja kerja sebuah kantor pos. secuil senyum yang kutemui di sana, tak bisa kujelaskan bagaimana ia masuk ke tiap sel darahku, mengalir ke seluruh tubuh dengan cepat, lalu entah apa istilahnya, yang pasti membuatku bersemangat. Mungkin kalau kuibaratkan adalah di dalam tubuhku ada sebuah tungku, lalu senyum itulah yang membakarnya, membuat tubuhku panas dan bergairah. Sayangnya, itu membuatku kecanduan. Seolah merasa sakaw, tubuhku tak bisa tenang ketika tak bisa melihat meja kerja itu. Ya, karena di balik meja kerja itulah bisa kudapatkan putaw untuk mengobati sakaw-ku.

Berawal dari niatku mengirimkan paket untuk saudaraku, iseng-iseng aku mengirimnya lewat kantor pos itu, yang jelas2 jauh dari rumahku dan jarang sekali kudatangi. Sial,
pikirku awalnya. Ini pada mau mengirim surat apa antre pembagian sembako, kulihat antrian yang begitu panjang. Aku pun hampir menyesali acara iseng2ku itu, lalu semua seolah berhenti beberapa detik, ketika di awal detik itu aku mengintip ujung antrian ini. Lidahku kelu untuk mengumpat lagi, Ya Tuhaaan,, aku benci seperti ini, perasaan apa ini? Kulihat karya surga di mata seorang hawa, aku langsung teringat baris puisi yg ditulis Rangga untuk Cinta itu.

Menurutku semua wanita itu cantik, tapi dia… ah, mereka harus membuat satu kata yang mewakili perasaanku saat itu, karena aku yakin tentang ini takkan ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Cinta? Bukan, karena dalam kamus hidupku tak mengenal cinta pandangan pertama. Bagiku istilah cinta pandangan pertama adalah istilah halus dari nafsu semata. Lalu, nafsukah? Bukan, karena rasaku saat itu tulus…tak ada keinginan memilikinya. Satu yg kutahu, senyum itu merayu otakku, meyakinkan hatiku bahwa harus menjadi bagian dari hari2ku. Ah, sama saja aku ingin memilikinya? Entahlah, karena keinginanku hanya melihatnya, bukan memonopolinya. Aku lupa bagaimana saat akhirnya aku sampai di ujung antrian, menyerahkan paketku dan diambilnya. Sumpah, saat itu benar2 seolah terhapus dari memori otakku, karena ketika pulang, yang kuingat hanya tatap mata dan senyumannya. Tuhan,,

………………….

Kulihat cermin, seperti hari2 sebelumnya, aku tak juga mendadak menjadi tampan. Tapi ada yg menarik dari senyumanku, oh…begitu tulus dan mudahnya tercipta. Ya, karena hari ini aku berniat menuju kantor pos itu, tempat canduku tersimpan. Kini kusandang kemeja, tak lagi kaos oblong dan jeans robek seperti acara iseng2ku saat itu. Kuambil sebuah paket yang memang akan kukirimkan lewat kantor pos itu, lalu meluncurlah aku membelah kota.

Ah…itu dia. Masih cantik seperti kemarin. Lebih cantik malah, dengan baju batiknya yang serasi dengan warna kulitnya. Antrian panjang tak menjadi masalah buatku, kutunggu sampai kapanpun demi mengkonsumsi canduku yg sederhana: melihat senyum dan tatapnya serta mendengarkan suara lembutnya.
Meski sesederhana itu, ternyata jantungku lumayan berdegup keras. Aih…kecut sekali, apa2an ini? Tak biasanya aku seperti ini. Bahkan ada rasa takut yang diam2 menyelinap. Takut apa coba? Semua pikiran itu akhirnya tertutupi rasa antusiasku, beberapa giliran lagi! Sebentar lagi giliranku mengambil canduku, jatahku, semangatku hari ini! Tujuh ekor lagi, pikirku. Tiba2 terlintas di pikiranku, aku akan mengajaknya ngobrol! Ya..setidaknya saat ia memproses paketku, aku akan merekam kata2, bunyi yang keluar dari mulut indahnya sebanyak, selama mungkin dengan otakku. Yes! Tentu semangatku hari ini akan berlimpah ruah.
Ini dia..enam ekor lagi giliranku..

Tiba-tiba…
“mas, silakan di sebelah sana saja, sama saja kok. Di sana tidak ada yang antri” seorang bapak berpakaian satpam menyapaku sekaligus menyuruhku pindah antrian.
Yang terpikir pertama kali adalah “sama saja gundulmu, pak”, yang kedua adalah makian apa yg cocok untuk satpam itu. Lalu yg ketiga adalah, sial..benar juga, tak ada antrian di sana, apa yg dipikirkan orang lain kalau aku menolak saran satpam edan ini?
Sialll…satpam edan ini menyita canduku, mematikan semangatku dalam beberapa detik, ketika aku akhirnya melangkah mengikuti sarannya. Awas kamu, kampret!

…………….

Aku akan nekat, dan aku harus nekat! Hari ini aku akan menemui semangatku itu lagi, namun kali ini ada misi istimewa, menyampaikan apa yang kurasakan padanya.

Secarik kertas telah kutulisi beberapa kata yang mungkin mewakili kata2 yg dulu tak terdaftar di kamus itu. Takkan kubiarkan seekor kampret pun menghalangi niatku lagi. Lalu kupikir, mungkin sebaiknya aku datang di menit2 akhir saja, pasti antrian juga tak sebanyak saat pagi atau siang. Akhirnya kupersiapkan mental dan tentu saja secarik kertas yg kutulisi puisi pendek tadi. Apa aku sudah gila? Bagaimana kalau gara2 puisi itu dia jadi tersinggung? Marah? Ah..inilah kehebatan (atau mungkin kebodohan) dari sebuah kenekatan. Berpikir adalah hal terakhir, tak ada kebimbangan..

14.45 aku meluncur karena setahuku kantor pos tutup jam 15.00. ya ampun..aku lupa menambahkan waktu perjalanan di blue print rencanaku tadi, rupanya ada kebodohan nyata yang mengikuti dan senantiasa mengiringi sebuah kenekatan. Akhirnya benar juga, bangunan itu memang tak tampak antrian, sepi sesuai rencana. Tapi sepi secara menyeluruh, itu yang tak sesuai dengan rencana. Tuhan..

Namun..sekejap kemudian, kuremas kecil2 secarik kertas yang kubawa, kubiarkan jatuh di sebuah selokan persis di depanku berdiri. Otakku membeku. Sejujurnya aku tak tahu persis bagian apa yang beku dari seluruh diriku saat itu. Dengan menahan semua perasaan yang ada, kutunggu seorang laki-laki dengan motornya hingga melewatiku dan menjauh. Tak ada yang istimewa dari laki-laki itu buatku. Yang istimewa adalah canduku, semangatku, yang dibawanya pergi menjauhiku sore itu.

…….

Mungkin masih ada, remasan kertas di satu sudut got, yang bertuliskan:

"Terpikirkah olehmu
Bahwa kau mampu
Membinasakan sunyiku
Menepikan lelah dalam kalbu
Menggetarkan ragaku
Hanya dengan secuil senyummu"

2 comments:

Anonymous said...

pengalaman pribadi, kah? :3

Syam said...

Wah, iya ga ya? hahaha